Minggu, 05 Februari 2012

Rabu, 25 Januari 2012

Interferensi dan Analisis Kesalahan


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, sebab bahasa merupakan alat pemersatu antara satu dengan yang lainnya, mulai dari tingkat skala kehidupan yang paling kecil keluarga, masyarakat, hingga ke skala yang paling besar kehidupan bernegara. Belajar bahasa  merupakan suatu kewajiban bagi semua orang. Bahasa pada saat ini telah menjadi suatu budaya yang patut dilestarikan keberadaannya. Dengan belajar bahasa berarti juga belajar membudidayakan diri sendiri, mengembangkan diri, dan membentuk diri menjadi manusia yang luhur.
Lebih dari setengah penduduk dunia adalah dwibahasawan. Hal ini berarti bahwa sebagian besar manusia dibumi ini menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasi. Orang yang biasa menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian untuk tujuan yang berbeda pada hakikatnya merupakan agen pengontak dua bahasa. Semakin besar jumlah orang yang seperti ini maka semakin intensif pula kontak antara dua bahasa yang mereka gunakan. Kontak ini menimbulkan saling pengaruh, yang manifestasinya menjelma di dalam penerapan kaidah bahasa pertama (B1) di dalam penggunaan bahasa kedua (B2). Keadaan sebaliknya pun dapat terjadi di dalam pemakaian sistem B2 pada saat menggunakan B1. Salah satu dampak negatif dari praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian adalah terjadinya kekacauan pemakaian bahasa, yang lebih dikenal dengan istilah interferensi.
Interferensi merupakan salah satu faktor penyebab kesalahan berbahasa. “Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, baik dalam ucapan maupun tulisan terutama kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua” (Alwasilah, 1993:114).
            Oleh karena itu makalah ini menjelaskan tentang pengertian interferensi dan contoh interferensi, faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi, pengertian analisis kesalahan, faktor penyebab kesalahan berbahasa, langkah-langkah analisis kesalahan serta contoh analisis kesalahan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan bahwa masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apakah yang dimaksud dengan interferensi serta contoh interferensi?
2.    Apa sajakah faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi?
3.    Apakah yang dimaksud dengan analisis kesalahan?
4.    Apa sajakah faktor-faktor penyebab kesalahan berbahasa?
5.    Bagaimanakah langkah-langkah analisis kesalahan serta contoh analisis kesalahan?

C. Tujuan
Berdasarkan masalah tersebut, tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Untuk mendeskripsikan tentang interferensi serta contoh interferensi.
2.    Untuk mendeskripsikan gambaran tentang faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi.
3.    Untuk mendeskripsikan gambaran tentang analisis kesalahan.
4.    Untuk mendeskripsikan gambaran tentang faktor-faktor penyebab kesalahan berbahasa.
5.    Untuk mendeskripsikan gambaran tentang langkah-langkah analisis kesalahan serta contoh analisis kesalahan.

D. Manfaat
         Penyusunan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan secara praktis. Makalah ini secara teoritis  diharapkan  dapat
memberikan pengetahuan tentang belajar bahasa (interferensi dan analisis kesalahan)
            Adapun manfaat makalah ini secara praktis adalah sebagai berikut:
1.    Bagi pembaca, makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang belajar bahasa (interferensi dan analisis kesalahan).
2.   Bagi penulis, hasil makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan atau bekal dalam memahami belajar bahasa (interferensi dan analisis kesalahan).


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Interferensi
Menurut Weinreich (dikutip Tarigan, 2011:15) menurutnya, interferensi adalah “penyimpangan norma bahasa yang terjadi didalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa”. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan interferensi
adalah kekeliruan atau penyimpangan norma sebagai akibat adanya kebiasaan ujaran dari satu bahasa atau lebih.
            Menurut Chaer (2007:66), “Interferensi dapat terjadi pada semua tataran bahasa mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai ke tataran leksikon”. Contoh pada tataran fonologi, misalnya, kalau penutur bahasa jawa mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia yang mulai dengan /b/,/d/,/j/, dan /g/ maka konsonan tersebut akan didahuluinya dengan bunyi nasal yang homorgan, jadi kata bogor akan diucapkan mBogor, kata depok akan dilafalkan nDepok. Interferensi pada tataran gramatikal, misalnya penggunaan prefiks ke- seperti pada kata kepukul, ketabrak dan kebaca yang seharusnya terpukul, tertabrak dan terbaca. Contoh interferensi dalam tataran sintaksis adalah susunan kalimat pasif makanan itu telah dimakan oleh saya dari penutur berbahasa ibu bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda susunannya adalah makanan teh atos dituang kuabdi, padahal susunan bahasa Indonesianya yang baku adalah makanan itu telah saya makan. Interferensi dalam bidang leksikon berupa digunakannya kata-kata dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, misalnya sewaktu berbahasa indonesia terbawa masuk kata-kata dari bahasa Jawa, bahasa Sunda atau bahasa lain.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut Weinreich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
(1) Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.

2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber  yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3) Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.
4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5) Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yaitu sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.

6) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut.  Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan

7) Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat  terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing.  Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.

C.  Pengertian Analisis Kesalahan
            Menurut Ellis (dikutip Tarigan, 2011:60) analisis kesalahan adalah “suatu prosedur kerja, yang biasa digunakan oleh para peneliti dan guru bahasa, yang meliputi pengumpulan sampel, pengidentifikasian kesalahan yang terdapat dalam sampel, penjelasan kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan itu berdasarkan penyebabnya, serta  pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan kesalahan itu”. Sementara itu menurut Tarigan (dikutip Setyawati, 2010:12) analisis kesalahan adalah “suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh peneliti atau guru bahasa, yang meliputi kegiatan mengumpulkan sampel kesalahan, mengidentifikasi kesalahan yang terdapat dalam sampel, menjelaskan kesalahan tersebut, mengklasifikasi kesalahan itu, dan mengevaluasi taraf keseriusan kesalahan itu”.
            Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat penulis simpulkan analisis kesalahan adalah suatu prosedur kerja yang digunakan oleh para peneliti dan guru bahasa yang meliputi kegiatan mengidentifikasi, menjelaskan, dan mengevaluasi kesalahan.

D. Faktor Penyebab Kesalahan Berbahasa
            Kesalahan merupakan sisi yang mempunyai cacat pada ujaran atau tulisan para pelajar. Kesalahan tersebut merupakan bagian-bagian konversasi atau komposisi yang menyimpang dari norma baku atau norma tepilih dari bahasa orang dewasa. Pangkal penyebab kesalahan bahasa ada pada orang yang menggunakan bahasa yang bersangkutan bukan pada bahasa yang digunakannya. Menurut Setyawati (2010:10) ada tiga faktor penyebab seseorang salah dalam berbahasa, antara lain sebagai berikut:
1.    Terpengaruh bahasa yang lebih dahulu dikuasainya. Ini dapat berarti bahwa kesalahan berbahasa disebabkan oleh interferensi bahasa ibu atau bahasa pertama  (B1) terhadap bahasa kedua (B2) yang sedang dipelajari si pembelajar (siswa).
2.    Kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya.
3.    Pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna.
Berikut ini beberapa kesalahan berbahasa yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
1. Mistake (salah)
              Merupakan penyimpangan struktur lahir yang terjadi karena penutur tidak mampu menentukan pilihan penggunaan ungkapan yang terjadi situasi dengan situasi yang ada. Mistake/kekeliruan, terjadi ketika seorang pembelajar tidak secara konsisten melakukan penyimpangan dalam berbahasa. Kadang-kadang pembelajar dapat mempergunakan kaidah/norma yang benar tetapi kadang-kadang mereka membuat kekeliruan dengan mempergunakan kaidah/norma dan bentuk-bentuk yang keliru.
Contoh:
”Rasanya panas. Kalau malam tidur di kamar, harus pakai kipas terus,”kata Nining.
Analisis : Kalimat rasanya panas untuk menggambarkan situasi udara yang panas adalah kurang tepat atau dapat dikatakan adanya kekurangtepatan penggunaan ungkapan terhadap situasi tersebut. Maka dari itu kalimat tersebut masuk dalam mistake. Seharusnya ungkapan tersebut menggunakan ungkapan “Udaranya panas” agar lebih tepat.

2. Selip
              Merupakan penyimpangan bentuk lahir karena beralihnya pusat perhatian topik pembicaraan secara sesaat (kelelahan bisa menimbulkan selip bahasa). Dengan demikian selip bahasa terjadi secara tidak disengaja. Kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh lapses tidak memiliki implikasi paedagogis yang berbahaya. Lapse, selip lidah, diartikan sebagai bentuk penyimpangan yang diakibatkan karena pembelajar kurang konsentrasi, rendahnya daya ingat atau sebab-sebab
lain yang dapat terjadi kapan saja dan pada siapapun.
Contoh:
” Menjual barang tidak bisa memaksa orang membeli,” ujar Fauzi Aziz
Analisis : Selip bahasa terjadi pada kalimat tersebut. Selip terjadi karena kekurangtepatan kalimat yang digunakan yaitu kata yang diucapkan kurang. Seharusnya kata tersebut mendapat tambahan satu kata lagi agar tidak termasuk dalam selip bahasa. Kata yang dimaksud adalah kata untuk. Akan menjadi tidak selip ketika diucapkan ” Menjual barang tidak
bisa memaksa orang untuk membeli.

3. Silap
              Merupakan penyimpangan bentuk lahir dari struktur baku yang terjadi karena pemakai belum menguasai sepenuhnya kaidah bahasa. faktor yang mendorong timbulnya kesilapan adalah faktor kebahasaan
yang mengikuti pola-pola tertentu.
Contoh:
 ”Semuanya sudah empat kali kejadian sama dengan yang sekarang ini.”
Analisis : Kalimat tersebut mengalami silap bahasa karena dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan struktur dan kaidah kalimat dalam bahasa Indonesia yang benar. Kalimat tersebut akan bisa dikatakan kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar jika ” Semuanya sudah empat kali terjadi, termasuk yang sekarang ini.

4.Kalimat Rancu
              Merupakan  kalimat yang struktur atau bagiannya ada yang rancu atau tidak sesuai penempatannya.
Contoh:
Pemerintah pun mulai menggaungkan dukungan kepada industri kreatif.
Analisis : Kata menggaungkan secara makna kurang tepat atau rancu jika diterapkan  dalam   kalimat tersebut. Kata menggaungkan tersebut dapat
diganti dengan kata “menyampaikan, menyerukan dan sebagainya.”

5.Kalimat Ambigu
            Merupakan kalimat yang memiliki makna lebih dari satu/ membingungkan/ambigu.
Contoh:
Menurut Emi, salah seorang pemilik ruko yang terbakar, gudang oli itu mulai beroperasi sejak dua tahun lalu.
 Analisis: Kalimat tersebut merupakan kalimat yang ambigu atau menimbulkan tafsir ganda. Letak keambiguan dari kalimat tersebut adalah kita dapat menafsirkan makna kalimat tersebut dalam dua versi makna yaitu Emi ikut terbakar atau Emi hanyalah salah seorang dari pemilik ruko
yang ikut terbakar.

6. Adopsi
            Adopsi adalah mengambil semuanya dengan tidak mengurangi dan
tidak menambahi.
Contoh:
Amblesnya tanggul setinggi 11 meter itu....
Analisis : Kata meter merupakan kata yang diadopsi dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu meter.

7. Terjemahan
            Terjemahan adalah interpretasi makna suatu teks dalam suatu bahasa (teks sumber) dan penghasilan teks yang merupakan padanan dalam bahasa lain (teks sasaran atau terjemahan) yang mengkomunikasikan pesan serupa.
Contoh:
Pencuri telepon genggam itu akhirnya diserahkan kepada polisi setelah
dihajar warga.
Analisis : Kata telepon genggam merupakan bentuk terjemahan. Dikatakan bentuk terjemahan karena kata tersebut didapat dari menerjemahkan kata hand phone (telepon tangan/genggam) yang merupakan kata aslinya.

8. Adaptasi
            Adaptasi adalah menyesuaikan bentuk maupun lafalnya. Istilah “adaptasi” merupakan bahasa itu yang ber-/di adaptasi (oleh banyak faktor: lingkungan, geografis, dan sebagainya) sehingga menyebabkan variasi-variasi baik dalam bentuk atau pemakaiannya.
Contoh:
Bahwa produk kreatif karya anak bangsa banyak yang unik.
Analisis : Kalimat tersebut mengandung dua kata yang mengalami adaptasi dari kata asing. Kata tersebut adalah produk yang berasal dari kata product. Selain kata tersebut adaptasi juga terjadi pada kata kreatif
yang diadaptasi dari kata creative.

E. Langkah-Langkah Analisis Kesalahan
           Para ahli linguistik, pengajaran bahasa, dan guru bahasa sependapat bahwa kesalahan berbahasa itu mengganggu pencapaian tujuan pengajaran bahasa. Bahkan ada pernyataan ekstrem mengenai kesalahan berbahasa itu yang berbunyi “kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa menandakan pengajaran bahasa tidak berhasil atau gagal”. Oleh karena itu, kesalahan berbahasa yang sering dilakukan oleh siswa harus dikurangi dan kalau bisa dihapuskan. Hal ini baru dapat tercapai apabila seluk-beluk kesalahan berbahasa itu dikaji secara mendalam. Pengkajian segala aspek kesalahan itulah yang dimaksud dengan istilah Analisis Kesalahan.
      Menurut Tarigan (2011:60) mengemukakan bahwa analisis kesalahan mempunyai langkah-langkah yang meliputi:
1.   Pengumpulan sampel artinya mengumpulkan data berupa kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa, misalnya hasil ulangan, karangan atau percakapan
2.    Pengidentifikasian kesalahan artinya mengenali dan memilah-milah kesalahan berdasarkan katagori kebahasaan, misalnya kesalahan-kesalahan pelafalan.
3.    Penjelasan kesalahan artinya mengambarkan letak kesalahan, penyebab kesalahan dan memberikan contoh yang benar.
4.    Pengklasifikasian kesalahan artinya mengenali dan memilah-milah kesalahan berdasarkan katagori kebahasaan
5.    Pengevaluasian kesalahan artinya memperbaiki dan bila dapat menghilangkan kesalahan melalui penyusunan bahan yang tepat, buku pegangan yang baik, dan teknik pengajaran yang serasi.


BAB III
PENUTUP

A.   Simpulan
            Interferensi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kesalahan berbahasa. Kesalahan berbahasa itu sendiri merupakan umpan balik bagi pengajaran bahasa. Kesalahan yang sering dilakukan oleh siswa harus dikurangi dan bila dapat dihapuskan sama sekali. Hal ini baru tercapai bila seluk-beluk kesalahan itu dikaji secara mendalam. Pengkajian segala aspek kesalahan itulah yang disebut dengan analisis kesalahan.
            Berdasarkan hal tersebut guru dan orang tua tidak perlu menghindar dari kesalahan, tetapi justru harus menghadapi serta memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh murid dan anak mereka.         

B.   Saran
Selanjutnya penulis berharap bahwa makalah ini akan bermanfaat bagi semua pihak yang menggunakan makalah ini, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai “Belajar Bahasa”. Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan penunjang dalam proses perkuliahan, baik bagi mahasiswa, dosen, maupun bagi para pembaca.
  
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan AwalJakarta: Rineka 
            Cipta.

Setyawati. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia. Surakarta: Yuma Pustaka.

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Pengajaran Analisis Kesalahan BerbahasaBandung: 
             Angkasa.









Kajian Strukturalisme dan Pengajarannya


KAJIAN STRUKTURALISME DAN PENGAJARANNYA

Dipresentasikan oleh: M. Doni Sanjaya
NIM. 20112506018



I. Pendahuluan
            Pengalihan sebuah karya sastra ke bentuk atau media lain telah lama dilakukan. Terutama yang paling banyak dikenal adalah perubahan bentuk sebuah puisi menjadi sebuah lagu (musikalisasi puisi). Salah satu kajian yang dapat dipergunakan untuk menganalisis perbandingan karya sastra yaitu kajian struktural. Sebuah karya sastra fiksi atau puisi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Menurut Hartoko (1986:1) dalam lingkungan akademik seperti sekolah, pengajaran sastra merupakan salah satu pengajaran penting dan merupakan suatu bagian dari pelajaran bahasa. Pentingnya pengajaran sastra untuk diajarkan disekolah-sekolah terbukti di dalam kurikulum yang sampai saat ini masih tetap dicantumkan. Menurut Rusyana (1982:6) tujuan pengajaran sastra ialah untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang sastra. Kurikulum di sekolah mencantumkan pengajaran sastra dengan tujuan agar siswa tidak hanya mengetahui pelajaran bahasa saja tetapi juga dapat memperoleh pengetahuan sastra dan pengalaman sastra.
            Adanya pengajaran sastra di dalam kurikulum memperlihatkan betapa pentingnya nilai-nilai yang terdapat di dalam sastra. Nilai-nilai tersebut tentu akan memberi manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Disinilah peran pengajar bahasa Indonesia terasa sangat penting. Melalui usaha seorang guru setidaknya apa yang direncanakan oleh pemerintah mengenai pengetahuan sastra akan mencapai sasaran. 
            Selaras dengan tujuan pengajaran sastra yang diungkapkan oleh Rusyana, di dalam kurikulum pun dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran sastra itu pada hakikatnya adalah agar siswa mampu memahami, menghayati karya sastra, mampu menggali nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam karya sastra Indonesia dan karya sastra terjemahan yang bermanfaat bagi kehidupan serta mampu menulis prosa, puisi, dan drama, serta mampu memahami kritik dan esai sastra.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa untuk memahami suatu sastra harus dimulai dari karya itu sendiri sebagai struktur yang bersifat otonom, sebelum karya tersebut dihubungkan dengan unsur-unsur di luar dirinya. Sastra dinilai dalam hubungan sastranya terlebih dulu, dibebaskan dari hubungan dengan sosialnya. Oleh karenanya kajian strukturalistik dapat digunakan sebagai langkah awal memahami karya sastra.
Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana proses pembelajaran sastra itu berlangsung supaya hasil yang diharapkan dapat mewujud. Proses pembelajaran sastra melibatkan guru sastra, pihak yang mengajarkan sastra, dan siswa subjek yang belajar sastra. Masalah di atas dapat disederhanakan menjadi bagaimana upaya yang seyogianya ditempuh yang memungkinkan siswa dapat belajar sastra dengan seefektif mungkin.
Tulisan sederhana ini akan menawarkan suatu pendekatan sebagai suatu alternatif yang tampaknya cukup efektif digunakan oleh guru dalam pembelajaran sastra. Hanya saja perlu diingat, jika kita berbicara masalah metode kita tidak dapat lepas dari masalah pendekatan atau rancangan (approach) yang menurunkan metode (method). Untuk selanjutnya, suatu metode ternyata akan menyarankan penggunaan teknik-teknik tertentu pula. Dengan demikian, secara hirarkis akan dikemukakan adanya tiga tataran, yaitu pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (technique).
Pendekatan terhadap sastra, sekali lagi, berarti mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra. Apresiasi berisikan upaya merasakan dan menikmati karya sastra. Pendekatan apresiatif bertolak dari sastra sebagai hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan penghayatannya dengan menggunakan bahasa, yang kemudian didukung titik berat pembelajaran sastra yang diletakkan pada terbinanya kemampuan siswa mengapresiasi sastra.
Metode merupakan cara yang dalam fungsinya adalah alat untuk mencapai tujuan (Surakhmad, 1980:75).  Makin baik metode akan makin efektif pula pencapaian tujuannya. Sementara itu suatu teknik harus konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan pendekatannya. Teknik berkaitan dengan strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas.

2. Pembahasan.
2.1. Strukturalisme Karya Sastra
Dalam ilmu sastra pengertian strukturalisme sudah dipergunakan dengan berbagai cara. Yang dimaksud dengan istilah struktur ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala (Hartoko, 1986:37). Kaitan-kaitan tersebut diadakan oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya. Oleh sebab itu merupakan sesuatu yang aksiomatis sifatnya. Misalnya pelaku-pelaku dalam sebuah novel dapat dibagikan menurut kelompok-kelompok seperti tokoh utama, tokoh antagonis, tokoh pendukung, dan seterusnya. Pembagian kelompok-kelompok tersebut terdapat hubungan asosiasi dan oposisi.
Sementara itu, menurut Ratna (2008:91) bahwa strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur dengan totalitasnya.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat penulis simpulkan bahwa definisi strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa karya sastra merupakan suatu karya yang otonom dan ia dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu sama lain.
Berdasarkan penjelasan di atas maka tujuan kajian strukturalisme itu sendiri adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak).
Berikut ini penulis akan menghadirkan dua buah puisi yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi karya Rustam Effendi dan Sajak karya Sanusi Pane sebagai wujud kajian strukturalisme dalam puisi.
Puisi1
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Rustam Effendi 
Bukan beta bijak berperi
Pandai mengubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri,
Untaian rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
Degap – degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
Sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit mendekat,
Sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingkai pantun,
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.

Analisis Pendekatan Strukturalisme Pada Puisi:
1. Tipografi
Pada puisi tersebut pengarang menggunakan tipografi teratur karena pengarang tetap memperhitungkan jumlah suku kata, jumlah kata, persamaan bunyi, dan sebagainya.
2. Kata dan Diksi
a. Kata
Puisi diatas menggunakan bahasa melayu dan menggunakan kata-kata yang diulang-ulang (perulangan bunyi) seperti pengulangan kata bukan beta dan sering saya. Kata-kata yang bersifat konkret juga terdapat dalam puisi ini, seperti  Beta, saya, dan susah.
b. Diksi
Diksi yang digunakan pada puisi diatas menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif seperti yang terdapat pada kata budak negeri, lagu, yang mengandung makna karya sastra yang dibuat pengarang, dan kata alun. Imajeri yang muncul adalah auditif yang tampak pada bait ke-lima.
3. Bahasa Kiasan dan Bahasa Simbolik
-         Hiperbola         : pada kalimat bukan beta budak negeri
-         Repetisi            : misalnya pada kalimat bukan beta bijak berperi, bukan    
                                      beta budak negeri pada bait pertama.
-         Personifikasi     : terdapat  pada kalimat sebab terkurung lukisan   
                                      mamang dan hanya mendengar bisikan alun.

4. Rima, Aliterasi, Asonansi

a. Rima
Puisi diatas menggunakan berbagai macam rima yang diantaranya adalah berdasarkan jenisnya:
Rima tak sempurna yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir, contoh:
Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair;
Bukan beta budak negri,
musti menurut undangan mair.
Rima tertutup yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan), contoh:
Sering saya susah sesa’at,
sebab madahan tidak ‘nak datang,
Sering saya sulit menekat,
sebab terkurung lukisan mamang.
Berdasarkan letaknya :
Rima sejajar yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai
berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
Contoh:
                  Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak negri,
musti menurut undangan mair

b. Aliterasi
Misalnya :
Susah sungguh saya sampaikan,
degup degupan didalam kalbu,
dan
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak  na, datang.
Sering saya sulit menekat.

c. Asonansi
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun


5. Imajinasi
Citra atau bayangan yang muncul dalam puisi tersebut yaitu imaji pendengaran (auditif) misalnya pada bait ke-5 :
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingkai pantun,
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.,

6. Tema
Puisi diatas bertemakan nasionalisme sedangkan amanat pada puisi diatas ialah penyair menghendaki pembaca untuk mengikuti keinginan hati dan tidak terkekang pada peraturan yang dapat menghambat kemajuan.
7. Makna
Dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi diatas dapat diketahui bahwa penulis merasa bahwa ia bukanlah orang hebat dan tak ingin seperti budak negeri yang selalu tunduk pada peraturan orang lain termasuk penjajah. Ia mempunyai rangkaian seloka lama dan ingin menyusun karya baru sesuai kata hatinya meski kesulitan dan kemudahan tak kujung datang. Namun, Ia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang pandai melagukan pantun, ia hanya ingin mendengarkan bisikan dari dirinya sendiri dan orang – orang sekitarnya yang ingin membebaskan diri dari keterbelengguan segala hal.
Puisi 2
SAJAK
Sanusi Pane
O...Bukanlah dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O,,,pujangga buanglah segala kata
Yang kan mempermain mata
Dan hanya dibaca sepintas lalu
Karena tak keluar dari sukma
Seperti matahari mencintai bumi
Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa

Analisis
Pendekatan Strukturalisme pada puisi :
1.Tipografi
Pada puisi tersebut pengarang menggunakan tipografi teratur dengan baris dan bait yang tidak sama.

2.Kata dan Diksi
a. Kata
Pada puisi tersebut kata-kata yang digunakan cukup familier dan lebih mudah dipahami meskipun ada istilah yang belum diketahui maknanya secara pasti oleh pembaca. Misalnya pada kata rancak.
b. Diksi
Diksi yang digunakan pada puisi diatas menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif seperti yang terdapat pada kata mempermain mata dan kata-kata perumpamaan seperti matahari mencintai bumi

3. Bahasa Kiasan dan Bahasa Simbolik
-    Personifikasi: O..pujangga buanglah segala kata
                                   yang kan mempermain mata
-   Perumpamaan (simile):seperti matahari menyinari bumi
-   Hiperbola: harus cintamu senantiasa

4. Rima, Aliterasi, Asonansi
a. Rima
Rima pada puisi diatas cenderung termasuk dalam rima akhir karena adanya  persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi, seperti :
O...Bukanlah dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O,,,pujangga buanglah segala kata
Yang kan mempermain mata
b. Aliterasi
Misalnya :
Kata yang pelik kebagusan sajak
c. Asonansi
Misalnya:
seperti matahari mencintai bumi
memberi sinar selama-lamanya

5Imajinasi
Imaji dalam puisi “sajak” termasuk dalam jenis imaji pengelihatan. Hal ini bisa dibuktikan pada bait kedua :
Seperti matahari mencintai bumi
Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa

6Tema  
Puisi diatas bertemakan ketulusan dan keikhlasan. Sementara itu Amanat pada puisi itu ialah sebagai manusia hendaknya kita bisa ikhlas dan tulus dalam memberikan sesuatu kepada orang lain seperti halnya sajak yang dianalogikan dengan matahari yang menyinari bumi tanpa mengharapkan imbalan apapun.

7Makna
Dalam puisi tersebut bisa diketahui bahwa sajak bukanlah kata-kata yang amat bagus namun kata yang pelik atau rumit dengan segala ungkapan hati yang bisa dibaca sepintas lalu. Hal itu seperti matahari yang menyinari bumi, walaupun telah memberikan sinarnya, namun ia tak menuntut balasan apapun.

PEMBAHASAN
Dari hasil analisis kedua puisi diatas dapat diketahui bahwa :
1)  Tipografi untuk puisi pertama bersifat teratur, sedangkan puisi kedua bersifat teratur dengan baris dan bait yang tidak sama.
2)   Kata dan diksi yang digunakan dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi menggunakan bahasa melayu dengan beberapa perulangan kata serta diksi yang konotatif, pada puisi Sajak pengarang menggunakan kata-kata yang cukup familier dan lebih mudah dipahami. Diksi yang digunakan sebagian bersifat konotatif dan perumpamaan.
3)  Bahasa kiasan dalam puisi  Bukan Beta Bijak Berperi kebanyakan berupa repetisi dan personifikasi. Sementara pada puisi sajak lebih bersifat perumpamaan.
4)   Rima, aliterasi, dan asonansi pada kedua puisi diatas ada, namun karena puisi kedua lebih pendek maka rima, aliterasi, dan asonansinya pun hanya sedikit.
5)   Imajinasi pada puisi Bukan Beta Bijak Berperi cenderung kepada imajinasi yang bersifat auditif, sedangkan pada puisi sajak bersifat penglihatan.
6)  Tema dan amanat pada puisi Bukan Beta Bijak Berperi bersifat nasionalisme dan keinginan untuk hidup bebas dari keadaan yang serba terkekang, sementara itu pada puisi sajak bertemakan ketulusan dan keikhlasan.
7)   Makna yang terkandung dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi adalah meskipun kita bukan orang yang hebat, namun jangan mau jika hanya tunduk pada penjajah yang memperbudak kita. Kita harus bisa hidup bebas. Sementara itu pada puisi sajak kita sebaiknya memiliki sifat tulus dan ikhlas seperti matahari menyinari bumi yang tanpa mengharapkan balasan kembali

2.2. Pengajaran Strukturalisme
            Pada bagian selanjutnya penulis akan membahas tentang pengajaran strukturalisme. Pengajaran strukturalisme sangat bermanfaat untuk diterapkan pada materi sastra baik di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Pada taraf SD, SMP, dan SMA  materi strukturalisme hanya mengkaji tipografi, kata, diksi, bahasa kiasan, bahasa simbolik, rima, aliterasi, asonansi, imajinasi, tema dan makna tanpa menjelaskan dahulu hakikat dan pengertian strukturalisme, sedangkan untuk tingkat perguruan tinggi khususnya pada mata kuliah Teori Sastra selain harus menjelaskan tentang hakikat dan pengertian dari kajian strukturalisme mahasiswa harus sudah melakukan kajian penelitian dengan pendekatan strukturalisme dalam karya sastra.
            Beberapa SK dan KD di kelas X Sekolah Menengah Atas berikut ini penulis pandang sebagai awal pengenalan terhadap kajian strukturalisme di sekolah menengah atas. Coba perhatikan berikut ini.

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
No. 8

Mata Pelajaran                  : Bahasa Indonesia           

Kelas/Program                   :  X / Umum                               
Semester                            :  1 (satu)                
Pertemuan Ke-                  :  14 -15      
Alokasi Waktu                  :  4 x 45 menit         
Standar Kompetensi          :  Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/                                                 tidak langsung
Kompetensi Dasar             Mengungkapkan isi suatu puisi yang disampaikan   
                                              secara langsung ataupun tidak langsung.
                                                                                   


Indikator:       
1.    Menyebutkan tema puisi yang didengar
2.    Menjelaskan maksud puisi
3.    Mengungkapkan isi puisi dengan kata-kata sendiri

1.  Tujuan Pembelajaran

Pertemuan 14-15 (4 x45 menit)
Melalui kegiatan diskusi, siswa dapat :
Menyebutkan tema, maksud dan dapat mengungkapkan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri.

2. Materi Ajar

2.1 Puisi yang berjenis tertentu atau yang dibacakan
     2.2 Tema puisi
     2.3 Maksud puisi

3  Metode Pembelajaran

Ø Ceramah
Ø Diskusi kelompok
Ø Pemberian Tugas
Ø Tanya jawab
Ø Presentasi

4.
1.                  Langkah-langkah Pembelajaran

No.
Kegiatan Tatap Muka
Kegiatan Tugas Terstruktur
Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur
1
A.    Pendahuluan
 .    Menginformasikan Tujuan Pembelajaran
        Apersepsi materi/Relevansi :

      Guru membacakan penggalan/bait puisi yang menarik dan maknanya  mengundang rasa ingin tahu, misalnya:
Karena tak keluar dari sukma
Seperti matahari mencintai bumi
Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa
Guru  mempersilakan siswa  untuk menjelaskan maksud kata-kata dalam penggalan puisi tersebut.
Guru mengajak siswa untuk menyadari ada hal yang tidak biasa dalam bahasa puisi dan memahami makna puisi  dibutuhkan perspektif yang luas dari pembaca

Kegiatan Inti
 Deskripsi singkat materi pembelajaran :
   
      Pertemuan ke – 14 (2x45’)
Guru  mengajak siswa untuk mengingat kembali unsur-unsur yang membangun puisi.

Siswa berdiskusi untuk mengidentifikasi sifat-sifat khas bahasa puisi dan jenis-jenis puisi berdasarkan kejelasan maknanya.

Guru menjelaskan pendekatan parafrase sebagai cara menginterpretasikan makna / isi puisi

Siswa menyimak puisi yang dibacakan guru/siswa.

Siswa memparafrasekan puisi yang telah didengarkannya.
Siswa menjawab sejumlah pertanyaan lisan seputar isi puisi

Pertemuan ke – 15 (2x45’)
Siswa mengerjakan Uji Kompetensi Kelompok.

Siswa mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas dan ditanggapi bersama

Kegiatan Akhir
Siswa menjawab soal-soal kuis uji teori untuk mereview konsep-konsep penting  tentang  cara memahami isi puisi   yang telah dipelajari

Guru memotivasi siswa untuk semakin gemar membaca puisi sehingga kemampuannya memahami isi puisi semakin baik.

Siswa   merefleksikan nilai-nilai  serta kecakapan
































Jawablah pertanyaan berikut ini!
1.      Apa yang dimaksud dengan puisi?
2.      Sebutkan unsur-unsur pembangun puisi!
3.      Apa yang dimaksud dengan tema dan maksud puisi?
































Buatlah kelompok kecil antara 2-3 orang!
Analisis tema, maksud dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar, kemudian presentasikan di depan kelas hasil diskusi kalian



5.  Alat/Bahan/Sumber Belajar
Alat Pembelajaran   :   Cerdas Berpikir Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas X,Suyono, Ganeca
                                             Teks-teks puisi di koran/majalah                 
 6. Penilaian
a  Penilaian hasil          : Tes tertulis
                                   
            b. Penilaian proses      : Pengamatan proses belajar dan waktu  
                                                  pengumpulan tugas
                                                  (Lembar Pengamatan sikap terlampir)
             c. Soal                        :  (Terlampir)



Mengetahui                                                                         Baturaja,   Juli 2010
Kepala SMAN 10 OKU                                    Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia





Hafazudin, S.Pd.                                                                    M. Doni Sanjaya NIP.195804011984031010                                                                



TES FORMATIF

1.    Apa yang dimaksud dengan puisi?
2.    Sebutkan unsur-unsur pembangun puisi!


 KUNCI JAWABAN

1.    Puisi adalah bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya (Slamet Mulyadi)
2.    Unsur puisi:
a.    Struktur fisik, meliputi : diksi, majas, rima, irama,tipografi
b.    Struktur batin, meliputi: makna dan tema, perasaan(feeling), nada dan suasana, amanat

7.Lembar Kerja Siswa :                                               Nama Siswa: _______________
                                                                                    Kelas           : _______________

Mata Pelajaran       :     Bahasa Indonesia

Kelas/Program       :     X / Umum
Semester                :     1
Alokasi Waktu      :     4  x 45 menit
                        Indikator                :     1.  Menyebutkan  tema puisi yang didengar
  2.  Menjelaskan maksud puisi
  3.  Mengungkapkan isi puisi dengan kata- 
       Kata sendiri                      
Sumber                    :    Cerdas Berpikir Bahasa dan Sastra
                                      Indonesia untuk   Kelas X, Suyono,
                                      Ganeca,


LATIHAN INDIVIDUAL
1.    Bacalah puisi berikut!

SAJAK SIKAT GIGI

Seorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi mengosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersest dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu
Terlalu berlebih-lebihan

                                                                      Yudhistira Ardi N

2. Analisislah tema yang terdapat dalam puisi tersebut!
....................................................................................................................................3. Tafsrkan makna puisi tersebut!
...............................................................................................................................
III. Kesimpulan
Adanya pengajaran sastra di dalam kurikulum memperlihatkan betapa pentingnya nilai-nilai yang terdapat di dalam sastra. Nilai-nilai tersebut tentu akan memberi manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Disinilah peran pengajar bahasa Indonesia terasa sangat penting. Melalui usaha seorang guru setidaknya apa yang direncanakan oleh pemerintah mengenai pengetahuan sastra akan mencapai sasaran. 


IV. Daftar Pustaka
Hartoko, Dick. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Stilistika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:  Diponegoro.

Surakhmad, Winarno. 1980. Metodologi Pengajaran Nasional. Bandung: Jemmars.