Diberitahukan kepada seluruh mahasiswa, bahwa nilai sudah terbit di blog ini dan bagi mahasiswa yang komplain berkenaan dengan nilainya silahkan langsung menemui dosen yang bersangkutan. Terima Kasih.
M.Doni Sanjaya
Minggu, 05 Februari 2012
Rabu, 25 Januari 2012
Interferensi dan Analisis Kesalahan
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa
mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, sebab bahasa merupakan alat
pemersatu antara satu dengan yang lainnya, mulai dari tingkat skala kehidupan
yang paling kecil keluarga, masyarakat, hingga ke skala yang paling besar
kehidupan bernegara. Belajar bahasa merupakan
suatu kewajiban bagi semua orang. Bahasa pada saat ini telah menjadi suatu
budaya yang patut dilestarikan keberadaannya. Dengan belajar bahasa berarti
juga belajar membudidayakan diri sendiri, mengembangkan diri, dan membentuk
diri menjadi manusia yang luhur.
Lebih
dari setengah penduduk dunia adalah dwibahasawan. Hal ini berarti bahwa sebagian
besar manusia dibumi ini menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasi. Orang
yang biasa menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian untuk tujuan
yang berbeda pada hakikatnya merupakan agen pengontak dua bahasa. Semakin besar
jumlah orang yang seperti ini maka semakin intensif pula kontak antara dua
bahasa yang mereka gunakan. Kontak ini menimbulkan saling pengaruh, yang
manifestasinya menjelma di dalam penerapan kaidah bahasa pertama (B1) di dalam
penggunaan bahasa kedua (B2). Keadaan sebaliknya pun dapat terjadi di dalam
pemakaian sistem B2 pada saat menggunakan B1. Salah satu dampak negatif dari
praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian adalah terjadinya kekacauan
pemakaian bahasa, yang lebih dikenal dengan istilah interferensi.
Interferensi
merupakan salah satu faktor penyebab kesalahan berbahasa. “Interferensi bisa
terjadi pada pengucapan, tata bahasa, baik dalam ucapan maupun tulisan terutama
kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua” (Alwasilah, 1993:114).
Oleh
karena itu makalah ini menjelaskan tentang pengertian interferensi dan contoh
interferensi, faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi, pengertian
analisis kesalahan, faktor penyebab kesalahan berbahasa, langkah-langkah
analisis kesalahan serta contoh analisis kesalahan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan bahwa masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan interferensi serta contoh interferensi?
2. Apa
sajakah faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi?
3. Apakah
yang dimaksud dengan analisis kesalahan?
4. Apa
sajakah faktor-faktor penyebab kesalahan berbahasa?
5. Bagaimanakah
langkah-langkah analisis kesalahan serta contoh analisis kesalahan?
C.
Tujuan
Berdasarkan
masalah tersebut, tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk
mendeskripsikan tentang interferensi serta contoh interferensi.
2. Untuk
mendeskripsikan gambaran tentang faktor-faktor penyebab terjadinya
interferensi.
3. Untuk
mendeskripsikan gambaran tentang analisis kesalahan.
4. Untuk
mendeskripsikan gambaran tentang faktor-faktor penyebab kesalahan berbahasa.
5. Untuk
mendeskripsikan gambaran tentang langkah-langkah analisis kesalahan serta
contoh analisis kesalahan.
D.
Manfaat
Penyusunan makalah ini
diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan secara praktis. Makalah ini
secara teoritis diharapkan dapat
memberikan
pengetahuan tentang belajar bahasa (interferensi dan analisis kesalahan)
Adapun manfaat makalah ini secara praktis
adalah sebagai berikut:
1.
Bagi pembaca, makalah ini diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan tentang belajar bahasa (interferensi dan analisis
kesalahan).
2. Bagi penulis, hasil makalah ini dapat
dijadikan sebagai bahan atau bekal dalam memahami belajar bahasa (interferensi
dan analisis kesalahan).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Interferensi
Menurut Weinreich (dikutip Tarigan, 2011:15)
menurutnya, interferensi adalah “penyimpangan norma bahasa yang terjadi didalam
ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa yang
menyebabkan terjadinya kontak bahasa”. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina
(1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma
dari salah satu bahasa atau lebih.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat
disimpulkan interferensi
adalah kekeliruan atau
penyimpangan norma sebagai akibat adanya kebiasaan ujaran dari satu bahasa atau
lebih.
Menurut Chaer (2007:66), “Interferensi dapat terjadi pada
semua tataran bahasa mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai
ke tataran leksikon”. Contoh pada tataran fonologi, misalnya, kalau penutur
bahasa jawa mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia yang mulai dengan
/b/,/d/,/j/, dan /g/ maka konsonan tersebut akan didahuluinya dengan bunyi
nasal yang homorgan, jadi kata bogor akan diucapkan mBogor, kata depok akan
dilafalkan nDepok. Interferensi pada tataran gramatikal, misalnya penggunaan
prefiks ke- seperti pada kata
kepukul, ketabrak dan kebaca yang seharusnya terpukul, tertabrak dan terbaca.
Contoh interferensi dalam tataran sintaksis adalah susunan kalimat pasif makanan itu telah dimakan oleh saya dari
penutur berbahasa ibu bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda susunannya adalah makanan teh atos dituang kuabdi, padahal
susunan bahasa Indonesianya yang baku adalah makanan itu telah saya makan. Interferensi dalam bidang leksikon
berupa digunakannya kata-kata dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang
digunakan, misalnya sewaktu berbahasa indonesia terbawa masuk kata-kata dari
bahasa Jawa, bahasa Sunda atau bahasa lain.
B. Faktor
Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut Weinreich (1970:64-65)
ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
(1)
Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal
terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik
dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak
bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat
menimbulkan interferensi.
2) Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa
penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan
pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur
bahasa sumber yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai
akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang
digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
3) Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya
terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam
masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh
karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar,
akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum
mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka
menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja
pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya
kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa
sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata
baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru
yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi
karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan
kata bahasa penerima.
4) Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan
cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang
bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada
konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang
sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi,
yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata
yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang
disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau
unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut
dibutuhkan dalam bahasa penerima.
5) Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang
cukup penting, yaitu sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari
pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan
kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai
variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara
berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai
bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman
kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima.
Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya
interferensi.
6) Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya
interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat
menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa
sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam
berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian
unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan
7) Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa
penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol
bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat
terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa
nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai
bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah
kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua
yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan
dikuasainya.
C. Pengertian Analisis Kesalahan
Menurut Ellis (dikutip Tarigan, 2011:60) analisis
kesalahan adalah “suatu prosedur kerja, yang biasa digunakan oleh para peneliti
dan guru bahasa, yang meliputi pengumpulan sampel, pengidentifikasian kesalahan
yang terdapat dalam sampel, penjelasan kesalahan tersebut, pengklasifikasian
kesalahan itu berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan
kesalahan itu”. Sementara itu menurut Tarigan (dikutip Setyawati, 2010:12)
analisis kesalahan adalah “suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh
peneliti atau guru bahasa, yang meliputi kegiatan mengumpulkan sampel
kesalahan, mengidentifikasi kesalahan yang terdapat dalam sampel, menjelaskan
kesalahan tersebut, mengklasifikasi kesalahan itu, dan mengevaluasi taraf
keseriusan kesalahan itu”.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat penulis
simpulkan analisis kesalahan adalah suatu prosedur kerja yang digunakan oleh
para peneliti dan guru bahasa yang meliputi kegiatan mengidentifikasi, menjelaskan,
dan mengevaluasi kesalahan.
D. Faktor
Penyebab Kesalahan Berbahasa
Kesalahan merupakan sisi yang mempunyai cacat pada ujaran
atau tulisan para pelajar. Kesalahan tersebut merupakan bagian-bagian
konversasi atau komposisi yang menyimpang dari norma baku atau norma tepilih
dari bahasa orang dewasa. Pangkal penyebab kesalahan bahasa ada pada orang yang
menggunakan bahasa yang bersangkutan bukan pada bahasa yang digunakannya.
Menurut Setyawati (2010:10) ada tiga faktor penyebab seseorang salah dalam
berbahasa, antara lain sebagai berikut:
1. Terpengaruh bahasa yang lebih dahulu dikuasainya. Ini dapat berarti bahwa
kesalahan berbahasa disebabkan oleh interferensi bahasa ibu atau bahasa
pertama (B1) terhadap bahasa kedua (B2)
yang sedang dipelajari si pembelajar (siswa).
2. Kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya.
3. Pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna.
Berikut
ini beberapa kesalahan berbahasa yang sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari.
1. Mistake (salah)
Merupakan penyimpangan struktur
lahir yang terjadi karena penutur tidak mampu menentukan pilihan penggunaan
ungkapan yang terjadi situasi dengan situasi yang ada. Mistake/kekeliruan,
terjadi ketika seorang pembelajar tidak secara konsisten melakukan penyimpangan
dalam berbahasa. Kadang-kadang pembelajar dapat mempergunakan kaidah/norma yang
benar tetapi kadang-kadang mereka membuat kekeliruan dengan mempergunakan
kaidah/norma dan bentuk-bentuk yang keliru.
Contoh:
”Rasanya panas. Kalau
malam tidur di kamar, harus pakai kipas terus,”kata Nining.
Analisis : Kalimat
rasanya panas untuk menggambarkan situasi udara yang panas adalah kurang tepat
atau dapat dikatakan adanya kekurangtepatan penggunaan ungkapan terhadap
situasi tersebut. Maka dari itu kalimat tersebut masuk dalam mistake.
Seharusnya ungkapan tersebut menggunakan ungkapan “Udaranya panas” agar lebih
tepat.
2.
Selip
Merupakan penyimpangan bentuk
lahir karena beralihnya pusat perhatian topik pembicaraan secara sesaat
(kelelahan bisa menimbulkan selip bahasa). Dengan demikian selip bahasa terjadi
secara tidak disengaja. Kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh lapses tidak
memiliki implikasi paedagogis yang berbahaya. Lapse, selip lidah, diartikan
sebagai bentuk penyimpangan yang diakibatkan karena pembelajar kurang
konsentrasi, rendahnya daya ingat atau sebab-sebab
lain yang dapat
terjadi kapan saja dan pada siapapun.
Contoh:
” Menjual barang tidak bisa memaksa orang membeli,” ujar Fauzi Aziz
Analisis : Selip bahasa terjadi pada kalimat tersebut. Selip terjadi karena kekurangtepatan kalimat yang digunakan yaitu kata yang diucapkan kurang. Seharusnya kata tersebut mendapat tambahan satu kata lagi agar tidak termasuk dalam selip bahasa. Kata yang dimaksud adalah kata untuk. Akan menjadi tidak selip ketika diucapkan ” Menjual barang tidak
” Menjual barang tidak bisa memaksa orang membeli,” ujar Fauzi Aziz
Analisis : Selip bahasa terjadi pada kalimat tersebut. Selip terjadi karena kekurangtepatan kalimat yang digunakan yaitu kata yang diucapkan kurang. Seharusnya kata tersebut mendapat tambahan satu kata lagi agar tidak termasuk dalam selip bahasa. Kata yang dimaksud adalah kata untuk. Akan menjadi tidak selip ketika diucapkan ” Menjual barang tidak
bisa memaksa orang
untuk membeli.
3.
Silap
Merupakan penyimpangan bentuk
lahir dari struktur baku yang terjadi karena pemakai belum menguasai sepenuhnya
kaidah bahasa. faktor yang mendorong timbulnya kesilapan adalah faktor
kebahasaan
yang mengikuti
pola-pola tertentu.
Contoh:
”Semuanya sudah empat kali kejadian sama dengan yang sekarang ini.”
Analisis : Kalimat tersebut mengalami silap bahasa karena dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan struktur dan kaidah kalimat dalam bahasa Indonesia yang benar. Kalimat tersebut akan bisa dikatakan kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar jika ” Semuanya sudah empat kali terjadi, termasuk yang sekarang ini.
”Semuanya sudah empat kali kejadian sama dengan yang sekarang ini.”
Analisis : Kalimat tersebut mengalami silap bahasa karena dalam kalimat tersebut terdapat kesalahan struktur dan kaidah kalimat dalam bahasa Indonesia yang benar. Kalimat tersebut akan bisa dikatakan kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar jika ” Semuanya sudah empat kali terjadi, termasuk yang sekarang ini.
4.Kalimat
Rancu
Merupakan kalimat yang struktur atau bagiannya ada yang
rancu atau tidak sesuai penempatannya.
Contoh:
Pemerintah pun mulai menggaungkan dukungan kepada industri kreatif.
Analisis : Kata menggaungkan secara makna kurang tepat atau rancu jika diterapkan dalam kalimat tersebut. Kata menggaungkan tersebut dapat
Pemerintah pun mulai menggaungkan dukungan kepada industri kreatif.
Analisis : Kata menggaungkan secara makna kurang tepat atau rancu jika diterapkan dalam kalimat tersebut. Kata menggaungkan tersebut dapat
diganti dengan kata
“menyampaikan, menyerukan dan sebagainya.”
5.Kalimat Ambigu
Merupakan kalimat yang memiliki makna
lebih dari satu/ membingungkan/ambigu.
Contoh:
Contoh:
Menurut
Emi, salah seorang pemilik ruko yang terbakar, gudang oli itu mulai beroperasi
sejak dua tahun lalu.
Analisis: Kalimat tersebut merupakan
kalimat yang ambigu atau menimbulkan tafsir ganda. Letak keambiguan dari
kalimat tersebut adalah kita dapat menafsirkan makna kalimat tersebut dalam dua
versi makna yaitu Emi ikut terbakar atau Emi hanyalah salah seorang dari
pemilik ruko
yang ikut terbakar.
6.
Adopsi
Adopsi adalah mengambil semuanya dengan tidak mengurangi
dan
tidak menambahi.
Contoh:
Amblesnya
tanggul setinggi 11 meter itu....
Analisis : Kata meter
merupakan kata yang diadopsi dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu meter.
7.
Terjemahan
Terjemahan adalah
interpretasi makna suatu teks dalam suatu bahasa (teks sumber) dan penghasilan
teks yang merupakan padanan dalam bahasa lain (teks sasaran atau terjemahan)
yang mengkomunikasikan pesan serupa.
Contoh:
Pencuri telepon genggam itu akhirnya diserahkan kepada polisi setelah
Pencuri telepon genggam itu akhirnya diserahkan kepada polisi setelah
dihajar warga.
Analisis : Kata telepon
genggam merupakan bentuk terjemahan. Dikatakan bentuk terjemahan karena kata
tersebut didapat dari menerjemahkan kata hand phone (telepon tangan/genggam)
yang merupakan kata aslinya.
8.
Adaptasi
Adaptasi adalah menyesuaikan bentuk maupun lafalnya.
Istilah “adaptasi” merupakan bahasa itu yang ber-/di adaptasi (oleh banyak
faktor: lingkungan, geografis, dan sebagainya) sehingga menyebabkan
variasi-variasi baik dalam bentuk atau pemakaiannya.
Contoh:
Bahwa
produk kreatif karya anak bangsa banyak yang unik.
Analisis : Kalimat tersebut
mengandung dua kata yang mengalami adaptasi dari kata asing. Kata tersebut
adalah produk yang berasal dari kata product. Selain kata tersebut adaptasi
juga terjadi pada kata kreatif
yang diadaptasi dari kata
creative.
E. Langkah-Langkah Analisis Kesalahan
Para ahli linguistik, pengajaran bahasa, dan guru bahasa
sependapat bahwa kesalahan berbahasa itu mengganggu pencapaian tujuan
pengajaran bahasa. Bahkan ada pernyataan ekstrem mengenai kesalahan berbahasa
itu yang berbunyi “kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa menandakan
pengajaran bahasa tidak berhasil atau gagal”. Oleh karena itu, kesalahan
berbahasa yang sering dilakukan oleh siswa harus dikurangi dan kalau bisa
dihapuskan. Hal ini baru dapat tercapai apabila seluk-beluk kesalahan berbahasa
itu dikaji secara mendalam. Pengkajian segala aspek kesalahan itulah yang
dimaksud dengan istilah Analisis Kesalahan.
Menurut Tarigan (2011:60) mengemukakan bahwa analisis
kesalahan mempunyai langkah-langkah yang meliputi:
1. Pengumpulan sampel artinya mengumpulkan data berupa kesalahan berbahasa
yang dilakukan oleh siswa, misalnya hasil ulangan, karangan atau percakapan
2. Pengidentifikasian kesalahan artinya mengenali dan memilah-milah
kesalahan berdasarkan katagori kebahasaan, misalnya kesalahan-kesalahan
pelafalan.
3. Penjelasan kesalahan artinya mengambarkan letak kesalahan, penyebab
kesalahan dan memberikan contoh yang benar.
4. Pengklasifikasian kesalahan artinya mengenali dan memilah-milah kesalahan
berdasarkan katagori kebahasaan
5. Pengevaluasian kesalahan artinya memperbaiki dan bila dapat menghilangkan
kesalahan melalui penyusunan bahan yang tepat, buku pegangan yang baik, dan
teknik pengajaran yang serasi.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Interferensi
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kesalahan berbahasa. Kesalahan
berbahasa itu sendiri merupakan umpan balik bagi pengajaran bahasa. Kesalahan
yang sering dilakukan oleh siswa harus dikurangi dan bila dapat dihapuskan sama
sekali. Hal ini baru tercapai bila seluk-beluk kesalahan itu dikaji secara
mendalam. Pengkajian segala aspek kesalahan itulah yang disebut dengan analisis
kesalahan.
Berdasarkan hal tersebut guru dan
orang tua tidak perlu menghindar dari kesalahan, tetapi justru harus menghadapi
serta memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh murid dan anak mereka.
B.
Saran
Selanjutnya penulis
berharap bahwa makalah ini akan bermanfaat bagi semua pihak yang menggunakan
makalah ini, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, makalah ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai “Belajar Bahasa”. Secara
praktis, makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan penunjang dalam
proses perkuliahan, baik bagi mahasiswa, dosen, maupun bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah,
Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa.
Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan AwalJakarta: Rineka
Cipta.
Setyawati.
2010. Analisis Kesalahan Berbahasa
Indonesia. Surakarta: Yuma
Pustaka.
Tarigan,
Henry Guntur. 2011. Pengajaran Analisis
Kesalahan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Kajian Strukturalisme dan Pengajarannya
KAJIAN STRUKTURALISME DAN
PENGAJARANNYA
Dipresentasikan oleh: M. Doni Sanjaya
NIM. 20112506018
I. Pendahuluan
Pengalihan sebuah karya sastra ke bentuk atau media lain telah lama
dilakukan. Terutama yang paling banyak dikenal adalah perubahan bentuk sebuah
puisi menjadi sebuah lagu (musikalisasi puisi). Salah satu kajian yang dapat
dipergunakan untuk menganalisis perbandingan karya sastra yaitu kajian
struktural. Sebuah karya sastra fiksi atau puisi menurut kaum strukturalisme
adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur
pembangunnya. Menurut Hartoko (1986:1) dalam lingkungan akademik seperti
sekolah, pengajaran sastra merupakan salah satu pengajaran penting dan
merupakan suatu bagian dari pelajaran bahasa. Pentingnya pengajaran sastra
untuk diajarkan disekolah-sekolah terbukti di dalam kurikulum yang sampai saat
ini masih tetap dicantumkan. Menurut Rusyana (1982:6) tujuan pengajaran sastra
ialah untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang sastra. Kurikulum di
sekolah mencantumkan pengajaran sastra dengan tujuan agar siswa tidak hanya
mengetahui pelajaran bahasa saja tetapi juga dapat memperoleh pengetahuan
sastra dan pengalaman sastra.
Adanya
pengajaran sastra di dalam kurikulum memperlihatkan betapa pentingnya
nilai-nilai yang terdapat di dalam sastra. Nilai-nilai tersebut tentu akan
memberi manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Disinilah peran pengajar
bahasa Indonesia terasa sangat penting. Melalui usaha seorang guru setidaknya
apa yang direncanakan oleh pemerintah mengenai pengetahuan sastra akan mencapai
sasaran.
Selaras
dengan tujuan pengajaran sastra yang diungkapkan oleh Rusyana, di dalam
kurikulum pun dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran sastra itu pada hakikatnya
adalah agar siswa mampu memahami, menghayati karya sastra, mampu menggali
nilai-nilai moral, sosial dan budaya dalam karya sastra Indonesia dan karya
sastra terjemahan yang bermanfaat bagi kehidupan serta mampu menulis prosa,
puisi, dan drama, serta mampu memahami kritik dan esai sastra.
Berdasarkan pendapat-pendapat
di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa untuk memahami suatu sastra harus
dimulai dari karya itu sendiri sebagai struktur yang bersifat otonom, sebelum
karya tersebut dihubungkan dengan unsur-unsur di luar dirinya. Sastra dinilai dalam
hubungan sastranya terlebih dulu, dibebaskan dari hubungan dengan sosialnya.
Oleh karenanya kajian strukturalistik dapat digunakan sebagai langkah awal
memahami karya sastra.
Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana proses pembelajaran
sastra itu berlangsung supaya hasil yang diharapkan dapat mewujud. Proses pembelajaran sastra
melibatkan guru sastra, pihak
yang mengajarkan sastra, dan siswa subjek yang
belajar sastra. Masalah di atas dapat disederhanakan menjadi bagaimana upaya
yang seyogianya ditempuh yang memungkinkan siswa dapat belajar sastra dengan seefektif mungkin.
Tulisan sederhana ini akan
menawarkan suatu pendekatan sebagai suatu alternatif yang tampaknya
cukup efektif digunakan oleh guru dalam pembelajaran sastra. Hanya saja perlu diingat, jika kita berbicara masalah metode kita tidak dapat
lepas dari masalah pendekatan atau rancangan (approach)
yang menurunkan metode (method). Untuk selanjutnya, suatu metode
ternyata akan menyarankan penggunaan teknik-teknik tertentu pula. Dengan
demikian, secara hirarkis akan dikemukakan adanya tiga tataran, yaitu
pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (technique).
Pendekatan
terhadap sastra, sekali lagi, berarti mengapresiasi
nilai-nilai yang terkandung dalam sastra. Apresiasi berisikan upaya merasakan
dan menikmati karya sastra. Pendekatan
apresiatif bertolak dari sastra sebagai hasil kegiatan kreatif manusia
dalam mengungkapkan penghayatannya dengan menggunakan bahasa, yang kemudian
didukung titik berat pembelajaran sastra yang diletakkan pada terbinanya
kemampuan siswa mengapresiasi sastra.
Metode merupakan cara yang dalam fungsinya adalah alat untuk mencapai
tujuan (Surakhmad, 1980:75). Makin baik metode akan makin efektif pula
pencapaian tujuannya. Sementara itu suatu teknik harus
konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan pendekatannya. Teknik berkaitan dengan
strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas.
2. Pembahasan.
2.1. Strukturalisme Karya
Sastra
Dalam
ilmu sastra pengertian strukturalisme sudah dipergunakan dengan berbagai cara.
Yang dimaksud dengan istilah struktur ialah kaitan-kaitan tetap antara
kelompok-kelompok gejala (Hartoko, 1986:37). Kaitan-kaitan tersebut diadakan
oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya. Oleh sebab itu merupakan sesuatu yang
aksiomatis sifatnya. Misalnya
pelaku-pelaku dalam sebuah novel dapat dibagikan menurut kelompok-kelompok
seperti tokoh utama, tokoh antagonis, tokoh pendukung, dan seterusnya.
Pembagian kelompok-kelompok tersebut terdapat hubungan asosiasi dan oposisi.
Sementara
itu, menurut Ratna (2008:91) bahwa strukturalisme berarti paham mengenai
unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mekanisme antarhubungannya, di satu
pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain
hubungan antara unsur dengan totalitasnya.
Berdasarkan
kedua pendapat tersebut dapat penulis simpulkan bahwa definisi strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi
dan deskripsi struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa karya
sastra merupakan suatu karya yang otonom dan ia dapat dipahami sebagai suatu
kesatuan yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu sama
lain.
Berdasarkan penjelasan di
atas maka tujuan kajian strukturalisme itu sendiri adalah mencari
struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan
secara ilmiah
(obyektif, ketat dan berjarak).
Berikut ini penulis akan menghadirkan dua buah puisi yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi karya
Rustam Effendi dan Sajak karya Sanusi Pane sebagai wujud kajian strukturalisme
dalam puisi.
Puisi1
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Rustam
Effendi
Bukan beta bijak berperi
Pandai mengubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri,
Untaian rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
Degap – degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
Sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit mendekat,
Sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingkai pantun,
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.
Analisis Pendekatan Strukturalisme Pada Puisi:
1. Tipografi
Pada puisi tersebut pengarang menggunakan
tipografi teratur karena pengarang tetap memperhitungkan jumlah suku kata,
jumlah kata, persamaan bunyi, dan sebagainya.
2. Kata
dan Diksi
a. Kata
Puisi diatas menggunakan bahasa melayu dan
menggunakan kata-kata yang diulang-ulang (perulangan bunyi) seperti pengulangan
kata bukan beta dan sering saya. Kata-kata yang
bersifat konkret juga terdapat dalam puisi ini, seperti Beta, saya, dan susah.
b. Diksi
Diksi yang digunakan pada puisi diatas
menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif seperti yang terdapat pada kata
budak negeri, lagu, yang mengandung makna karya sastra yang
dibuat pengarang, dan kata alun. Imajeri yang
muncul adalah auditif yang tampak pada bait ke-lima.
3. Bahasa Kiasan dan
Bahasa Simbolik
-
Hiperbola : pada kalimat bukan
beta budak negeri
-
Repetisi :
misalnya pada kalimat bukan beta
bijak berperi, bukan
beta budak negeri pada bait pertama.
-
Personifikasi : terdapat pada kalimat sebab terkurung lukisan
mamang dan hanya mendengar bisikan alun.
4. Rima,
Aliterasi, Asonansi
a. Rima
Puisi diatas menggunakan
berbagai macam rima yang diantaranya adalah berdasarkan jenisnya:
Rima tak sempurna yaitu persamaan
bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir, contoh:
Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair;
Bukan beta budak negri,
musti menurut undangan mair.
Rima tertutup yaitu
persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan), contoh:
Sering saya susah
sesa’at,
sebab madahan
tidak ‘nak datang,
Sering saya sulit
menekat,
sebab terkurung
lukisan mamang.
Berdasarkan letaknya :
Rima sejajar yaitu
persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai
berulang-ulang pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
Contoh:
Bukan beta bijak berperi,
Contoh:
Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah
madahan syair,
Bukan beta budak
negri,
musti menurut
undangan mair
b. Aliterasi
Misalnya :
Susah sungguh saya
sampaikan,
degup degupan didalam kalbu,
dan
Sering saya susah
sesaat
Sebab madahan tidak na, datang.
Sering saya sulit
menekat.
c. Asonansi
Bukan beta bijak
berlagu,
dapat melemah
bingkaian pantun
5. Imajinasi
Citra atau bayangan yang
muncul dalam puisi tersebut yaitu imaji pendengaran (auditif) misalnya pada
bait ke-5 :
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingkai pantun,
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.,
6. Tema
Puisi diatas bertemakan nasionalisme sedangkan amanat
pada puisi diatas ialah penyair
menghendaki pembaca untuk
mengikuti keinginan hati dan tidak terkekang pada peraturan yang dapat menghambat kemajuan.
7. Makna
Dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi diatas dapat diketahui bahwa penulis merasa bahwa ia
bukanlah orang hebat dan tak ingin seperti budak negeri yang selalu tunduk pada
peraturan orang lain termasuk penjajah. Ia mempunyai rangkaian seloka lama dan
ingin menyusun karya baru sesuai kata hatinya meski kesulitan dan kemudahan tak
kujung datang. Namun, Ia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang pandai
melagukan pantun, ia hanya ingin mendengarkan bisikan dari dirinya sendiri dan
orang – orang sekitarnya yang ingin membebaskan diri dari keterbelengguan
segala hal.
Puisi 2
SAJAK
Sanusi
Pane
O...Bukanlah dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O,,,pujangga buanglah segala kata
Yang kan mempermain mata
Dan hanya dibaca sepintas lalu
Karena tak keluar dari sukma
Seperti matahari mencintai bumi
Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa
Analisis
Pendekatan Strukturalisme pada puisi :
1.Tipografi
Pada puisi tersebut pengarang
menggunakan tipografi teratur dengan baris dan bait yang tidak sama.
2.Kata
dan Diksi
a. Kata
Pada puisi tersebut
kata-kata yang digunakan cukup familier dan lebih mudah dipahami meskipun ada
istilah yang belum diketahui maknanya secara pasti oleh pembaca. Misalnya pada
kata rancak.
b. Diksi
Diksi yang digunakan
pada puisi diatas menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif seperti yang
terdapat pada kata mempermain mata dan kata-kata perumpamaan seperti matahari mencintai bumi
3. Bahasa Kiasan dan
Bahasa Simbolik
-
Personifikasi: O..pujangga
buanglah segala kata
yang kan mempermain mata
-
Perumpamaan (simile):seperti matahari menyinari bumi
-
Hiperbola: harus cintamu senantiasa
4. Rima, Aliterasi, Asonansi
a. Rima
Rima pada puisi diatas cenderung
termasuk dalam rima akhir karena adanya persamaan bunyi yang terdapat di
akhir baris pada tiap bait puisi, seperti :
O...Bukanlah dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O,,,pujangga buanglah segala kata
Yang kan mempermain mata
b. Aliterasi
Misalnya :
Kata yang pelik
kebagusan sajak
c. Asonansi
Misalnya:
seperti matahari
mencintai bumi
memberi sinar
selama-lamanya
5. Imajinasi
Imaji
dalam puisi “sajak” termasuk dalam jenis imaji pengelihatan. Hal ini bisa dibuktikan
pada bait kedua :
Seperti matahari mencintai bumi
Memberi sinar selama-lamanya
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa
6. Tema
Puisi diatas
bertemakan ketulusan
dan keikhlasan. Sementara itu Amanat
pada puisi itu ialah sebagai
manusia hendaknya kita bisa ikhlas dan tulus dalam memberikan sesuatu kepada orang lain seperti halnya sajak yang dianalogikan dengan matahari yang
menyinari bumi tanpa mengharapkan imbalan apapun.
7. Makna
Dalam puisi tersebut
bisa diketahui bahwa sajak bukanlah kata-kata yang amat bagus namun kata yang
pelik atau rumit dengan segala ungkapan hati yang bisa dibaca sepintas lalu.
Hal itu seperti matahari yang menyinari bumi, walaupun telah memberikan
sinarnya, namun ia tak menuntut balasan apapun.
PEMBAHASAN
Dari hasil analisis kedua puisi diatas dapat diketahui bahwa :
1) Tipografi untuk puisi pertama bersifat teratur,
sedangkan puisi kedua bersifat teratur dengan baris dan bait yang tidak sama.
2) Kata
dan diksi yang digunakan dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi menggunakan
bahasa melayu dengan beberapa perulangan kata serta diksi yang konotatif, pada
puisi Sajak pengarang menggunakan kata-kata yang cukup familier dan lebih mudah
dipahami. Diksi yang digunakan sebagian bersifat konotatif dan perumpamaan.
3) Bahasa
kiasan dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi kebanyakan berupa repetisi
dan personifikasi. Sementara pada puisi sajak lebih bersifat perumpamaan.
4) Rima,
aliterasi, dan asonansi pada kedua puisi diatas ada, namun karena puisi kedua
lebih pendek maka rima, aliterasi, dan asonansinya pun hanya sedikit.
5) Imajinasi
pada puisi Bukan Beta Bijak Berperi cenderung kepada imajinasi yang bersifat
auditif, sedangkan pada puisi sajak bersifat penglihatan.
6) Tema
dan amanat pada puisi Bukan Beta Bijak Berperi bersifat nasionalisme dan keinginan untuk hidup bebas dari keadaan yang
serba terkekang, sementara itu pada puisi sajak bertemakan ketulusan dan
keikhlasan.
7) Makna
yang terkandung dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi adalah meskipun kita bukan
orang yang hebat, namun jangan mau jika hanya tunduk pada penjajah yang
memperbudak kita. Kita harus bisa hidup bebas. Sementara itu pada puisi sajak
kita sebaiknya memiliki sifat tulus dan ikhlas seperti matahari menyinari bumi
yang tanpa mengharapkan balasan kembali
2.2. Pengajaran
Strukturalisme
Pada
bagian selanjutnya penulis akan membahas tentang pengajaran strukturalisme. Pengajaran strukturalisme sangat
bermanfaat untuk diterapkan pada materi sastra baik di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Pada taraf SD, SMP, dan SMA materi strukturalisme hanya mengkaji tipografi, kata, diksi, bahasa
kiasan, bahasa simbolik, rima, aliterasi, asonansi, imajinasi, tema dan makna tanpa menjelaskan dahulu hakikat dan pengertian
strukturalisme, sedangkan untuk tingkat perguruan tinggi
khususnya pada mata kuliah Teori Sastra selain harus menjelaskan tentang
hakikat dan pengertian dari kajian strukturalisme mahasiswa harus sudah melakukan kajian
penelitian dengan pendekatan strukturalisme dalam karya sastra.
Beberapa
SK dan KD di kelas X Sekolah Menengah Atas berikut ini
penulis pandang sebagai awal pengenalan terhadap kajian strukturalisme di sekolah menengah atas. Coba perhatikan berikut ini.
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
No.
8
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Program : X / Umum
Semester : 1 (satu)
Pertemuan Ke- :
14 -15
Alokasi Waktu : 4
x 45 menit
Standar Kompetensi : Memahami puisi yang disampaikan secara
langsung/ tidak langsung
Kompetensi Dasar : Mengungkapkan isi suatu
puisi yang disampaikan
secara langsung
ataupun tidak langsung.
Indikator:
1. Menyebutkan tema puisi yang didengar
2.
Menjelaskan maksud puisi
3. Mengungkapkan isi puisi dengan kata-kata
sendiri
1. Tujuan Pembelajaran
Pertemuan 14-15 (4 x45
menit)
Melalui kegiatan diskusi, siswa dapat :
Menyebutkan tema,
maksud dan dapat mengungkapkan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri.
2. Materi Ajar
2.1 Puisi yang berjenis tertentu atau yang
dibacakan
2.2 Tema puisi
2.3 Maksud puisi
3 Metode Pembelajaran
Ø Ceramah
Ø Diskusi kelompok
Ø Pemberian Tugas
Ø Tanya jawab
Ø Presentasi
4.
1.
Langkah-langkah Pembelajaran
No.
|
Kegiatan Tatap Muka
|
Kegiatan
Tugas Terstruktur
|
Kegiatan
Mandiri Tidak Terstruktur
|
1
|
A. Pendahuluan
.
Menginformasikan Tujuan
Pembelajaran
Apersepsi materi/Relevansi :
Guru membacakan penggalan/bait puisi yang menarik dan maknanya mengundang rasa ingin tahu, misalnya:
Karena
tak keluar dari sukma
Seperti
matahari mencintai bumi
Memberi
sinar selama-lamanya
Tidak
meminta sesuatu kembali
Harus
cintamu senantiasa
Guru mempersilakan siswa untuk menjelaskan maksud kata-kata dalam
penggalan puisi tersebut.
Guru mengajak siswa untuk menyadari ada hal yang tidak biasa dalam bahasa
puisi dan memahami makna puisi
dibutuhkan perspektif yang luas dari pembaca
Kegiatan Inti
Deskripsi singkat materi
pembelajaran :
Pertemuan ke – 14 (2x45’)
Guru mengajak siswa untuk
mengingat kembali unsur-unsur yang membangun puisi.
Siswa berdiskusi untuk mengidentifikasi sifat-sifat khas bahasa puisi dan
jenis-jenis puisi berdasarkan kejelasan maknanya.
Guru menjelaskan pendekatan parafrase sebagai cara menginterpretasikan
makna / isi puisi
Siswa menyimak puisi yang dibacakan guru/siswa.
Siswa memparafrasekan puisi yang telah didengarkannya.
Siswa menjawab sejumlah pertanyaan lisan
seputar isi puisi
Pertemuan ke – 15 (2x45’)
Siswa mengerjakan Uji Kompetensi Kelompok.
Siswa mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas dan ditanggapi
bersama
Kegiatan Akhir
Siswa menjawab soal-soal kuis uji teori untuk mereview konsep-konsep penting tentang
cara memahami isi puisi yang
telah dipelajari
Guru memotivasi siswa untuk semakin gemar membaca puisi sehingga
kemampuannya memahami isi puisi semakin baik.
Siswa merefleksikan
nilai-nilai serta kecakapan
|
Jawablah pertanyaan berikut ini!
1.
Apa yang dimaksud dengan
puisi?
2.
Sebutkan unsur-unsur
pembangun puisi!
3.
Apa yang dimaksud dengan
tema dan maksud puisi?
|
Buatlah kelompok kecil antara 2-3 orang!
Analisis tema, maksud dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar,
kemudian presentasikan di depan kelas hasil diskusi kalian
|
5. Alat/Bahan/Sumber Belajar
Alat Pembelajaran : Cerdas Berpikir Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk SMA Kelas X,Suyono, Ganeca
Teks-teks puisi di koran/majalah
6. Penilaian
a Penilaian hasil : Tes tertulis
b. Penilaian proses : Pengamatan proses belajar dan waktu
pengumpulan tugas
(Lembar Pengamatan sikap terlampir)
c. Soal : (Terlampir)
Mengetahui Baturaja,
Juli
2010
Kepala SMAN 10 OKU Guru Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia
Hafazudin, S.Pd. M. Doni
Sanjaya NIP.195804011984031010
TES FORMATIF
1.
Apa
yang dimaksud dengan puisi?
2.
Sebutkan
unsur-unsur pembangun puisi!
KUNCI JAWABAN
1. Puisi adalah bentuk kesusastraan yang
menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya (Slamet Mulyadi)
2. Unsur puisi:
a.
Struktur
fisik, meliputi : diksi, majas, rima, irama,tipografi
b.
Struktur
batin, meliputi: makna dan tema, perasaan(feeling), nada dan suasana, amanat
7.Lembar Kerja Siswa : Nama Siswa:
_______________
Kelas : _______________
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Program : X / Umum
Semester : 1
Alokasi Waktu : 4 x
45 menit
Indikator :
1. Menyebutkan tema puisi yang didengar
2. Menjelaskan maksud puisi
3.
Mengungkapkan isi puisi dengan kata-
Kata sendiri
Sumber : Cerdas Berpikir Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk
Kelas X, Suyono,
Ganeca,
LATIHAN INDIVIDUAL
1. Bacalah puisi berikut!
SAJAK SIKAT GIGI
Seorang lupa menggosok giginya
sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi mengosok-gosok
mulutnya supaya terbuka
Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya
tinggal sepotong
Sepotong yang
hilang itu agaknya
Tersest dalam
mimpinya dan tak bisa kembali
Dan ia
berpendapat bahwa kejadian itu
Terlalu
berlebih-lebihan
Yudhistira
Ardi N
2. Analisislah tema yang terdapat dalam
puisi tersebut!
....................................................................................................................................3.
Tafsrkan makna puisi tersebut!
...............................................................................................................................
III. Kesimpulan
Adanya pengajaran sastra di dalam
kurikulum memperlihatkan betapa pentingnya nilai-nilai yang terdapat di dalam sastra.
Nilai-nilai tersebut tentu akan memberi manfaat yang besar bagi kehidupan
manusia. Disinilah peran pengajar bahasa Indonesia terasa sangat penting.
Melalui usaha seorang guru setidaknya apa yang direncanakan oleh pemerintah
mengenai pengetahuan sastra akan mencapai sasaran.
Hartoko, Dick. 1986. Pengantar
Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung
Larang.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Surakhmad, Winarno. 1980. Metodologi Pengajaran Nasional.
Bandung: Jemmars.
Langganan:
Postingan (Atom)